REPUBLIKA.CO.ID,
JAKARTA -24/12/2016- Pakar Hukum Tata Negara, Prof Dr Yusril Ihza Mahendra mengatakan
hukum Islam adalah the living law atau hukum yang hidup dalam
masyarakat.
Hukum Islam bukan ius constitutum (hukum yang berlaku saat ini atau
hukum positif) dan bukan pula ius
constituendum (hukum
yang dicita-citakan atau yang diangan-angankan di masa mendatang).
Hukum positif adalah hukum yang diformulasikan oleh institusi negara dan tegas
kapan dinyatakan berlaku dan kapan tidak berlaku lagi. Berbeda dengan the living law yang
tidak diformulasikan oleh negara, tetapi hukum itu hidup dalam alam pikiran dan
kesadaran hukum masyarakat.
"Ia berpengaruh dalam kehidupan masyarakat dan kadang-kadang daya
pengaruhnya bahkan mengalahkan hukum positif yang diformulasikan oleh
negara," ungkap Yusril Ihza Mahndra dalam keterangan tertulisnya yang
diterima Republika,
Sabtu (24/12).
Hukum yang hidup itu, kata Yusril, bersifat dinamis sejalan dengan perkembangan
masyarakat. Salah satu instrumen yang membuatnya tetap dinamis adalah antara
lain melalui fatwa yang dikeluarkan oleh mufti atau institusi lain yang
dianggap mempunyai otoritas dalam masyarakat.
''Fatwa umumnya dikeluarkan untuk menjawab kebutuhan hukum masyarakat yang
merasa ada ketidakjelasan terhadap sesuatu yang ada dan berkembang dalam
masyarakat dilihat dari sudut hukum Islam supaya ada kepastian hukum,'' jelas
Yusril.
Lalu, apakah dan bagaimanakah sebaiknya negara bersikap terhadap hukum yang
hidup itu? Yusril menyebut apabila negara bersifat demokratis, maka akan
memformulasikan hukum dengan mengangkat kesadaran hukum masyarakat menjadi
hukum positif sesuai kebutuhan hukum masyarakat.
Namun seandainya itu tidak atau belum dilakukan, maka
negara harus menghormati hukum yang hidup yang antara lain tercermin dalam
fatwa-fatwa yang dikeluarkan otoritatif tersebut. Negara juga harus
memfasilitasinya agar hukum yang hidup itu dapat terlaksana dengan baik dalam
kehidupan masyarakat.
Dia berpendapat inilah yang harusnya menjadi sikap
negara di negara kita ini yang berdasarkan Pancasila. "Negara tidak
bersifat sekular dan indefferent (acuh tak acuh) terhadap hukum agama,
melainkan menghormati dan memberikan tempat yang selayaknya dalam kehidupan
masyarakat," ujarnya.
Yusril mengatakan apabila hukum yang hidup itu berkaitan langsung dengan tata
peribadatan (khassah),
maka negara tidak dapat mengintervensinya, melainkan menghormatinya dan
memfasilitasi pelaksanaannya dengan memperhatikan kemajemukan masyarakat.
Sumber : http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/16/12/24/oiope6301-yusril-hukum-islam-adalah-the-living-law
0 komentar:
Posting Komentar