Sumber: al-Habib Taufiq as-Seqaf
Editing: Muhsin Basyaiban
Diceritakan ada seorang tokoh ulama besar bernama Abu
Yazid al-Busthami. Beliau menjadi tokoh ulama besar dan terkenal sedemikian
rupa lantaran tidak lain karena pula penjagaan oleh orang tuanya. Dikatakan
Ibundanya itu, tidak makan kecuali dengan rezeki yang halal mulai mengandung
dia, sampai pun menyusui dia. Oleh karenanya, cinta kebaikan ini sudah tertanam begitu mengakar kepada Abu Yazid
al-Busthami sedari kecilnya (masa mengandung).
Nah pada suatu saat, ketika Abu Yazid awal mencari
ilmu, ia sering lupa dengan ilmu yang telah diperolehnya itu. Akhirnya, ia
bertanya kepada ibundanya. "Ibu, dulu apakah pernah makan yang syubhat
waktu mengandungku, melahirkanku atau waktu menyusuiku?" Lalu kata
ibundanya, "Ibu, tidak pernah nak." Seketika Abu Yazid berseloroh,
"Kok aku ini sering lupa ya bu, ..." Kemudian, ibundanya pun
menimpali, "Ibu tidak pernah makan makanan yang syubhat atau yang haram
Nak. Tapi, ibu pernah satu kali berjalan dan ketika itu ada seorang penjual
keju. Entah itu saat Ibu hamil kamu, atau saat "ngidam" kamu atau
saat menyusui kamu. Nah, waktu itu ibu mengambil sedikit keju (mencicipi) tanpa
sepengetahuan penjual keju itu. Tapi, Ibu kenal dengan penjual keju itu dan
pasti ia ridha nak."
Mendengar hal itu, maka Abu Yazid berkata kepada
Ibundanya, "Siapakah penjual keju itu bu?" Kata Ibundanya, "Si
Fulan bin Fulan." Maka saat itu pula, Abu Yazid langsung pergi menemui
penjual keju tersebut. Ketika bertemu dengan si penjual keju itu, Abu Yazid
berkata, "Maaf pak, dulu Ibu saya pernah "nyolek" keju milik
bapak waktu mengandung saya. Begitu kata Ibu saya. Nah, dan sekarang ini saya
meminta halalnya ya pak? Kalau tidak berapa kira-kira yang harus saya tebus
ini?" kata Abu Yazid memohon.
Maka si penjual keju itu mengatakan, "Wah, kalau
ibu kamu yang ambil lebih daripada itu pun tidak apa-apa nak; saya sudah
maafkan mulai zaman itu. Kalau tahu begitu." Dan Abu Yazid pun berkata,
"Alhamdulillah, kalau begitu saya berterima kasih banyak pak." Maka
mulai saat itu, setelah dihalalkan –makanan itu— Abu Yazid menjadi orang yang
sangat cerdas, bahkan semua (ilmu) yang didengarkan Abu Yazid al-Busthami, ia
pun dapat langsung menghafalnya. Oleh karenanya, syarat menjadi wali makanannya
itu harus halal.
Bukan berarti sorbannya besar, imamahnya besar,
tasbihnya panjang kemudian menjadi wali? Apa lagi "berneko-neko",
kukunya panjang, rambut gondrong; bukan seperti itu. Tapi, syarat menjadi wali
mulai dari kecil ayah-ibunya –benihnya itu— dari yang halal dan ia menjaga dari
makanan dan minuman yang halal. Insya Allah, akan menghasilkan hati yang
bersih, maka di situlah akan mendapat asrar atau rahasia Tuhan. Semoga
bermanfaat.
dishare dari facebook
0 komentar:
Posting Komentar