Detik.com - Mahkamah Konstistusi (MK) mengubah
peta hukum perkawinan Indonesia. Bila dulu Perjanjian Kawin dilakukan sebelum
adanya ikatan perkawinan, kini bisa dilakukan setelah terjadi perkawinan atau
sesudah menjadi pasangan suami istri (pasutri).
Kasus bermula saat warga Jakarta Timur, Ike Farida menikah dengan WNA Jepang
pada 1995 dan didaftarkan ke Kantor Catatan Sipil pada 1999 dan Ike tetap
memilih sebagi WNI.
Dari perkawinan itu, mereka membeli apartemen dan lunas tetapi pengembang
tiba-tiba membatalkan sepihak. Pengembang berdalih Ike tidak bisa memiliki
apartemen karena tidak ada Perjanjian Kawin sesuai dengan UU Perkawinan dan UU
Pokok Agraria (UU PA).
Atas kasus itu, Ike tidak terima dan mengajukan judicial review ke Mahkamah
Konstitusi (MK) untuk pasal Perjanjian Kawin dan UU Pokok Agraria terkait.
Perjanjian Kawin diatur dalam Pasal 29 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, yang berbunyi:
1. Pada waktu
atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama
dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat
perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang
pihak ketiga tersangkut.
2. Perjanjian tersebut tidak
dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
3. Perjanjian tersebut mulai
berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
4. Selama perkawinan
berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua
belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak
ketiga.
Nah, oleh MK menilai pasal di atas bertentangan dengan UUD 1945.
"Frase 'pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan' dalam Pasal 29
ayat (1) dan frasa 'selama perkawinan berlangsung' dalam Pasal 29 ayat (4) UU
1/1974 adalah bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat sepanjang tidak
dimaknai termasuk pula selama dalam ikatan perkawinan," demikian putus
majelis konstitusi sebagaimana dikutip detikcom dari website MK, Jumat
(28/10/2016).
Di dalam kehidupan suatu keluarga atau rumah tangga, selain masalah hak dan
kewajiban sebagai suami dan istri, masalah harta benda juga merupakan salah
satu faktor yang dapat menyebabkan timbulnya berbagai perselisihan atau
ketegangan dalam suatu perkawinan, menghilangkan kerukunan antara suami dan
istri dalam kehidupan suatu keluarga. Bahkan dapat menghilangkan kerukunan
antara suami dan istri dalam kehidupan suatu keluarga.
Untuk menghindari hal tersebut maka dibuatlah perjanjian perkawinan antara
calon suami dan istri, sebelum mereka melangsungkan perkawinan.
"Dalam kenyataannya ada fenomena suami istri yang karena alasan tertentu
baru merasakan adanya kebutuhan untuk membuat Perjanjian Perkawinan selama
dalam ikatan perkawinan," ucap majelis dengan suara bulat yang diketok
dalam sidang terbuka untuk umum pada Kamis (27/10) kemarin.
Oleh sebab itu, maka MK memutuskan konstitusional bersyarat pada pasal yang
dimaksud. Pasal 29 ayat 1 UU Perkawinan yang berbunyi:
Pada waktu atau
sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat
mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan,
setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga
tersangkut.
Harus dimaknai:
Pada waktu,
sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak
atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan
oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga
terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
Adapun Pasal 29 ayat 3 yang awalnya berbunyi:
Perjanjian
tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
Harus dimaknai:
Perjanjian
tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain
dalam Perjanjian Perkawinan
Adapun Pasal 29 ayat 4 yang awalnya berbunyi:
Selama perkawinan
berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua
belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak
ketiga.
Harus dimaknai:
Selama
perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan
atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari
kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan
atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga.
Adapun untuk permohonan Ike lainnya ditolak.
Nah, bagi pasangan yang kini telah menjadi suami istri dan belum memiliki
Perjanjian Kawin, tertarikkah Anda sekarang membuat Perjanjian Kawin?
(asp/rvk)
Sumber : http://news.detik.com/berita/d-3331853/ubah-peta-hukum-mk-putuskan-pasutri-bisa-bikin-perjanjian-kawin